Rabu, 16 April 2014



Cara kita memandang binatang selalu mengandung paradoks. Dalam diri binatang kita menemukan kemurnian, kepolosan, kejujuran, segala hal yang membuat kita mampu membersihkan diri kembali dari ekses peradaban. Dalam fabel, kita memuliakan binatang: mereka memberi kita hikmat kebijaksanaan. Dalam kehidupan sehari-hari, binatang piaraan memberi apa yang tak terberi oleh sesama: anjing adalah kesetiaan itu sendiri, dan kucing adalah ia yang terikat kepada rumah.

Namun kita juga merendahkan binatang. Manusia yang menurunkan derajat dirinya seringkali diibaratkan hewan: membunuh, menyiksa, memperkosa itu berlaku sebagai binatang. Si rakus-uang berubah menjadi babi ngepet. Vlad Draculea dalam birahinya menjelma makhluk-serigala dan dalam laparnya menjadi kelelawar. Seakan mendahului teori evolusi, bawah-sadar manusia sejak dulukala mengatakan bahwa binatang adalah makhluk pra-manusia.

Paradoks belum selesai. Manusia mengagumi binatang dengan cara memenjarakannya. Penjara paling terhormat mungkin adalah kebun binatang, di mana para tawanan, seakan mewakili ragam spesies yang ada di muka bumi, memamerkan kecantikan dan kepiawaian mereka. Di Las Vegas, saya pernah melihat sekawanan harimau dan singa putih terpajang mewah dalam etalase raksasa di sebuah kompleks pertokoan dan perjudian. Di arena sirkus, kaum binatang menjadi sahabat yang bengis, fierce friends: ketika melihat mereka layak dikasihi dan mengasihi, kita juga merasa mereka tetap buas-ganas.

Kita semua adalah pembunuh binatang, langsung atau tidak. Sejak kita lahir, hampir setiap hari kita memangsa daging hewan: entah sudah berapa banyak yang terbantai, supaya kita mampu bertahan hidup melangsungkan peradaban. Perbedaan genetik antara manusia, Homo sapiens, dengan simpanse hanya lima persen, dan perbedaan serbakecil ini cukuplah membuat si manusia berkesadaran bahwa dialah wakil Tuhan di muka bumi.

Perikemanusiaan kita boleh jadi tak dapat berlangsung tanpa perikebinatangan. Judul pameran ini membuat saya seperti mendengar seruan, marilah membinatang! Bersama bentuk-bentuk yang tersaji di hadapan kita, kita mengaum, menguak, meringkik, mendesis, mengulik, mengeong, menyalak. Sesaat kemudian, terdiam, sambil memandang bentuk-bentuk itu, saya tersadar bahwa beastly juga berarti “melalui binatang”. Tak seorang pun di antara para seniman itu tertarik menggambarkan binatang sebagai tujuan.

Pameran ini adalah sebuah manimalisme—saya kutip “manimal” dari sebuah karya Ruangrupa yang hadir di antara kita. Hampir semua seniman menggarap jukstaposisi antara (bentuk-bentuk) manusia-(dan)-binatang, man-animal. Tidak ada bentuk binatang yang dibiarkan mengendap, sepi sendiri: manusia “mengotori” binatang, begitu juga sebaliknya. Jika perlu, bahkan tidak ada sosok hewan sama sekali, sebab ia, mereka, sudah merasuk ke dalam sosok manusia itu sendiri.

Manimalisme mungkin adalah jalan ketiga setelah minimalisme dan maximalisme. Bagi saya, minimalisme adalah bentuk-bentuk binatang yang saya temukan pada lukisan-lukisan, misalnya, Zaini dan Franz Marck; dan maximalisme adalah apa yang diberikan oleh karya-karya trimatra, misalnya, Jeff Koons dan Ugo Untoro. Dengan minimalisme, kita mengendap, menyerap bentuk, bergerak antara wujud dan kekosongan, mencari hakikat rupa; dengan maximalisme, kita sadar bahwa seni rupa telah mencapai titik jenuhnya, dan benda seni tiada lain ketimbang benda sehari-hari.

Manimalisme adalah ber-ide, seraya menyadari bahwa ide itu tidak cukup; ide harus tertampung ke dalam bentuk, tetapi bentuk juga tidak cukup. Dalam ketidakcukupan ide dan bentuk—dalam kesadaran bahwa rupa bisa melampaui seni—tampaknya para seniman ber-“jodoh” dengan perikebinatangan. Manusia adalah makhluk yang belum selesai, seperti juga binatang. Demikianlah, makhluk manusia ini juga tak bisa digarap melulu dengan ide, tetapi dengan bentuk, yakni bentuk binatang. Manimalisme adalah jawaban terhadap humaniora, yang menganggap manusia sebagai makhluk final, manusia seutuhnya.

Beastly: perikebinatangan untuk hikmat kebijaksanaan. Mungkin pada saat kita menyadari bahwa diri kita belum terlalu jauh dari bentuk dan watak binatang, kita mulai belajar bagaimana kita bersikap adil terhadap alam. Jika pun pameran ini tak berhujah langsung, maka bentuk-bentuk yang tersaji akan membuat kita terhenyak bahwa kaum binatang bukan lagi sang lain, the other. Binatang dan manusia, alam dan kebudayaan, adalah dua saudara kembar yang belum kunjung selesai.

(Tulisan di atas adalah pengantar untuk pameran Beastly di Galeri Salihara, 3-23 Desember 2011, yang melibatkan 30 seniman. Gambar ilustrasi: Si Badut karya Beatrix Kaswara, akrilik di atas kanvas, 90 x 120 cm.)

Posted on 01.39 by Tom Tom Mie

No comments

Rabu, 20 Februari 2013


Posted on 21.12 by Tom Tom Mie

No comments

Posted on 21.01 by Tom Tom Mie

No comments